Friday, June 6, 2008

Memahami Pembangunan dan Penolakan Terhadap Pertumbuhan

Secara umum disepakati bahwa pembangunan adalah suatu proses perubahan yang mengarah kepada peningkatan kesejahteraan manusia yang meliputi perbaikan tingkat hidup, kesehatan, pendidikan, serta keadilan. Namun secara praktis pemahaman tentang pembangunan banyak dilihat dari dalam sudut pandang ekonomi. Sehingga kemudian pemahaman tersebut justru menyempit pada perhatian terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pemahaman tersebut berangkat dari teori pembangunan yang dikembangkan oleh pakar ekonomi dunia seperti Roy Harrod dan Evsey Domar (teori Harrod – Domar)[1], serta Robert M Solow (teori pertumbuhan neo-klasiknya)[2]. Teori-teori pembangunan yang berkembang sering melupakan esensi dasar dari Pembangunan adalah “Pembangunan Masyarakat” dengan pengertian ‘bersama’ yang berbeda dengan pengertian ‘rata-rata’.

Dalam presentasi Rivai (2008), mengungkapkan dari buku yang berjudul “The Rise of India” (Niranjan Radhyaksa), bahwa pembangunan di India berangkat dari Revolusi besar yang terjadi di India: antara lain Revolusi Globalisasi dimana keputusan India untuk keluar dari kebijakan ekonomi masa lalu dengan meningkatkan perdagangan dan investasi yang lebih tinggi di seluruh negara sehingga sangat membantu spesialisasi orang India dan mendorong produktifitas, dan akses pada pengetahuan dan teknologi. Revolusi selanjutnya yaitu Revolusi Pengalihdayaan (outsourcing): penurunan biaya telekomunikasi dan digitalisasi pada proses bisnis perusahaan-perusahaan besar dunia membuka kesempatan bagi tenaga kerja India dengan pola outsourcing. Kemudian berkembang ke arah design chipset, riset farmakologi dan sebagainya. Dan diikuti oleh revolusi lainnya yaitu Revolusi Pendanaan , Revolusi Aspirasi dan Revolusi Kebijakan.

Selanjutnya Rivai juga mengutip dari buku tersebut (Manmohan Singh) “Sebuah negara digerakkan oleh rakyatnya. Rakyat digerakkan oleh kemampuan mereka. Kemampuan rakyat diciptakan oleh investasi dalam pendidikan, kesejahteraan, dan keterampilan dengan memberi mereka peluang mendapatkan pekerjaan yang produktif. Rakyat juga digerakkan oleh kebebasan yang mereka nikmati… Masyarakat terbuka memungkinkan perkembangan penuh kepribadian individual kita. Ekonomi terbuka memberikan ruang bagi hasil kreatifitas dan usaha kita. Masyarakat terbuka dan ekonomi terbuka menggerakkan mereka yang hidup dan bekerja di dalamnya. Menjadi masyarakat demokratis yang terbuka dan ekonomi terbuka yang menggerakkan India. Pengadaan jaring pengaman sosial yang efektif untuk kaum miskin dan mereka yang memerlukan akan memastikan bahwa semua bagian populasi kita akan berpatisipasi dalam proses pertumbuhan sosial dan ekonomi, dan menjadikannya masyarakat yang lebih inklusif”

Bahri (2008), menyajikan tentang bagaimana pertumbuhan ekonomi menimbulkan kemiskinan akibat terjadinya kesenjangan/inequality. Dalam penjelasannya Bahri berangkat dari definisi Definisi Equality yang dijabarkan oleh World Bank (2007) yaitu:

ϒ Equal Opportunity: Kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup bagi siapa saja tanpa pandang bulu, kesamaan dalam meraih pendidikan, pelayanan kesehatan, akses dalam pelayanan publik (air bersih etc) dan pendapatan.

ϒ Avoidance Absolute Deprivation: Situasi dimana suatu komunitas mempunyai jaminan agar kelompok terbawahnya mempunyai kesempatan untuk melindungi masa depannya. Kesamaan tersebut antara lain adalah kesamaan dalam meraih pendidikan, pelayanan kesehatan, akses dalam pelayanan publik (air bersih etc) dan pendapatan.

Konsep equality sangat penting karena berkorelasi dengan kapasitas manusia untuk mengembangkan dirinya. Dan inequality (kesenjangan) jika dibiarkan akan mempunyai implikasi sosial dan politik.[3]



[1] pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tingginya tabungan dan investasi (dalam Budiman, 2000)

[2] Solow melihat pembangunan dalam arti pertumbuhan ekonomi rata-rata, pandangan tersebut berkembang dengan menggunakan indikator untuk mengukur ekonomi makro.

[3] Bahri (2008), Kerusuhan Sambas, dipicu oleh perbedaan kesenjangan ekonomi antara kaum migran (madura) dengan penduduk asli, kesenjangan ini mudah diprovokasi/memberi celah untuk timbulnya Chaos dan; Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dipicu oleh kesenjangan kesejahteraan antar propinsi.

Saturday, May 17, 2008

Should we just be proud?

Renungan 100 Tahun Kebangkitan Nasional
Sampai kapan kita hanya bisa berbangga?

  • Republik Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau (termasuk 9.634 pulau yang belum diberinama dan 6.000 pulau yang tidak berpenghuni). Disini ada 3 dari 6 pulau terbesardidunia, yaitu : Kalimantan (pulau terbesar ketiga di dunia dengan luas 539.460km2), Sumatera (473.606 km2) dan Papua (421.981 km2).

Wednesday, May 14, 2008

Mencintai Produk Lokal

Peran Masyarakat dalam Pengembangan Ekonomi



Saat belanja di Supermarket, diinformasi mengenai subsidi pemerintah untuk minyak goreng dan terigu. Sebelumnya memang sempat kaget, roti tawar yang biasanya Rp. 5.600 naik menjadi Rp. 7.000,- Muncul tanya dalam hati , apakah minyak goreng dan produk berbasis terigu yang dijual di supermarket besar pantas mendapatkan subsidi pemerintah? Siapakah sebenarnya belanja toko-toko sekelas itu?

Mungkin pemerintah perlu memikirkan mekanisme subsidi yang lebih tepat. Tapi baiklah, itu mungkin bukan porsi kita. Biar pemerintah dan para ahli yang memikirkan. Kita mungkin cuma bisa mendorong dan menghimbau. Namun ada yang bisa kita lakukan biar ekonomi bangsa ini tidak semakin terpuruk, minimal berperan mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat dengan MENCINTAI PRODUK LOKAL.

Lalu ingat kunjungan ke kota kecil Sragen (http://www.sragen.go.id/). Pemda Sragen (yang berhasil mereformasi birokrasi dan melakukan inovasi pemerintahan) sangat mendorong penggunaan produk lokal pada jajaran pemerintahan dan masyarakatnya. Bila berkunjung kesana, kita akan menjumpai himbauan moral dan teladan agar mengarus-utamakan konsumsi produk lokal. Tidak hanya makanan, tetapi juga pakaian.

Dalam berbagai pertemuan, rapat, pelatihan dsb kita akan menemukan sajian makanan kecil yang menggunakan bahan non beras/ terigu . Pemerintah dan masyarakatnya bersama-sama berusaha mengurangi konsumsi terigu atau bahan pangan import. Disisi lain mereka juga mendorong diversifikasi pangan non-beras, dengan memperkenalkan ganyong, garut, singkong, ubi, kentang dsb. untuk meningkatkan ketahanan pangan. Kebijakan ini kemudian mendorong inovasi dalam berbagai kegiatan masyarakat, mulai dari inovasi sistem pertanian, pengolahan bahan makanan (roti berbahan singkong, ganyong dsb).

Menghadapi serbuan pakaian import Pemda Sragen secara sadar mengembangkan kebudayaan untuk menggunakan batik. 3 hari dalam seminggu mereka menggunakan pakaian batik. Tamu-tamu yang berkunjung ke Pemda Sragen, baik tamu dalam maupun luar negeri (bila memungkinkan – sangat disarankan) untuk menggunakan Batik. Mereka juga mengembangkan batik untuk kaum muda.

Logika sederhananya adalah, PDB (Pendapatan Perkapita) = Konsumsi Masyarakat + Belanja Pemerintah + Investasi + Ekspor – Impor.

ketika konsumsi produk lokal naik, akan terjadi peningkatan pendapatan para produsen. Peningkatan pendapatan akan memungkinkan mereka untuk meningkatkan kapasitas produksi dan penyerapan tenaga kerja. Pendapatan mereka meningkat, daya beli mereka meningkat. Modal kerja mereka juga meningkat, yang memungkinkan investasi peralatan dan upaya peningkatan kualitas, atau kemampuan untuk melakukan pengembangan produk. Ini akan mendorong inovasi dan tumbuhnya kreatifitas. Perkembangan teknologi akan terpacu.

Perkembangan sektor real akan meningkatkan kebutuhan bahan baku dan penunjang. Perkembangan produksi lokal dengan bahan-bahan lokal akan mengurangi import. Pengurangan import akan menghemat devisa. Perlu kita ingat bahwa import yang tinggi memerlukan cadangan devisa yang besar. Cadangan devisa yang tidak memadai akan memaksa pemerintah untuk berhutang lagi. Hutang, menyebabkan beban pemerintah dan masyarakat semakin besar.

Jelas, bahwa keputusan kita – pribadi per pribadi – sangat menentukan perkembangan ekonomi dan kemajuan negara ini. Jadi mari mengutamakan konsumsi produk negeri sendiri dan berproduksi dengan menggunakan sumber daya negeri sendiri.

Tidak mudah memang dan tidak sesederhana itu, karena menyangkut kenyamanan yang selama ini kita nikmati. Kita masih sangat mudah tergoda untuk belanja tanpa pertimbangan untuk mengutamakan produk lokal. Tapi kalau bukan sekarang dan tidak kita upayakan, KAPAN LAGI? Jangan menunggu sampai kita terjajah secara ekonomi. Menggerakkan ekonomi lokal akan menjadi pertahanan yang tangguh dalam menghadapi perdagangan bebas yang akan segera tiba. Kita tentu tidak ingin generasi selanjutnya hanya menjadi buruh dinegara sendiri.


Salam,
Yanti 09.05.08

Friday, May 2, 2008


Belajar dari Kearifan Lokal Bangsa ini...

Belum lagi selesai tindakan kekerasan masyarakat yang menyerang tempat ibadah golongan Ahmadiah di Semarang. Ada lagi bentrokan di desa 10 Koto, Solok, sedih sekali rasanya. Dulu ketika menyaksikan kerusuhan di Poso, Ambon, Aceh dan beberapa daerah lain, tidak pernah terbayangkan bahwa mimpi buruk itu bakal terjadi di Ranah Minang. Mengapa sekarang kita begitu mudah untuk bertikai dan saling menyalahkan? Bahkan antar lembaga yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat.

Sekali darah tertumpah...sekali senjata bicara...sekali rumah terbakar....tidak lagi mudah untuk menyelesaikannya. Semua kemudian merasa berhak untuk saling membalaskan. Belum lagi saling silang pendapat orang-orang yang merasa ahli dan merasa memiliki kapabilitas untuk menyelesaikan masalah. Belum lagi lembaga-lembaga yang entah dari mana asal-usulnya, ingin berperan entah untuk tujuan apa. Belum lagi laporan media yang menayangkan gambar-gambar yang kian membakar amarah dan menebar kengerian.

Lalu...saya ingat sebuah buku yang saya beli kira-kira 5 tahun yang lalu. KEN SA FAAK – Benih-benih Perdamaian dari Pulau Kei. Bila ditanya tentang Pulau Kei, mungkin tak banyak dari kita yang tahu. Gugusan pulau-pulau kecil yang merupakan bagian Kepulauan Maluku. 5 jam 20 menit dengan 2 kali transit dari Jakarta bila menggunakan pesawat udara. 5 hari 5 malam suntuk bila menggunakan kapal laut.

Tak banyak dari kita yang menaruh perhatian, ketika di sana meletus 2 konflik besar tahun 1999 (tidak lama berselang setelah konflik Ambon dan Halmahera). Tercatat 200 korban jiwa terbunuh, ratusan lainnya menderita luka parah, 20 desa nyaris rata dengan tanah, 30.000 orang mengungsi di puluhan bangsal penampungan.

Di sana pulalah antara Juli 1999 sampai Februari 2000 telah berlangsung suatu proses rekonsiliasi yang berhasil menghentikan kerusuhan dan konflik tersebut. Dan nyaris tidak ada yang memberitakannya. Perhatian media-massa dan banyak orang masih lebih tersita oleh gegap gempita proses-proses rekonsiliasi di Ambon, Ternate, dan Poso yang gagal berkali-kali. Di sinilah kita bisa melihat suatu contoh bagaimana suatu masyarakat menemukan kembali ”kekuatan tradisi” dan ”kearifan lokal” mereka untuk keluar dari kemelut permasalahan yang mereka hadapi, untuk menciptakan perdamaian dan menghentikan tindak kekerasan, bukan dengan cara kekerasan pula yang hanya akan melahirkan lingkaran kekerasan yang baru yang tak akan ada habisnya.


Inilah pelajaran terpenting dan sumbangan paling berharga masyarakat Kei kepada kita semua. Suatu proses rekonsiliasi yang berhasil sepenuhnya atas usaha dan berdasarkan sistem adat mereka sendiri, nyaris tanpa campur tangan pemerintah, aparat keamanan, dan lembaga-lembaga internasional.

Selayaknya pula kita belajar pada bangsa sendiri. Banyak aktivis Indonesia terpukau dengan proses rekonsiliasi yang berlangsung di berbagai negara. Banyak pula pakar dan konsultan yang pernah di datangkan ke negeri ini dengan kerangka tawaran yang rumit. Hampir semuanya sebenarnya sepakat dan mengajukan satu hal yang sama : pentingnya menemukan suatu mekanisme ”alternatif penyelesaian sengketa” yang lebih sesuai dengan konteks lokal. Lalu mengapa tidak mencoba mencari solusi di tanah sendiri?

Salam,
Yanti (mutiara_9@yahoo.com)
Bandung 02.04.2008

Friday, April 11, 2008

Voluntary World

“ Dalam setiap komunitas, ada kerja yang harus dilakukan. Dalam setiap bangsa, ada luka yang harus disembuhkan. Dan dalam setiap hati, ada kekuatan untuk melakukannya”

Volunteering (kerelawanan) didefinisikan secara berbeda-beda di berbagai negara, tetapi ada kesamaan dasar dari semua definisi yang ada. Akar kata volunteer berasal dari bahasa Latin ”Voluntas” mengacu kepada keinginan individu. Perserikatan Bangsa-bangsa mendefinisikan kerelawanan sebagai “ activities that individuals or groups offer to society ‘in ways that often require a degree of sacrifice’but also involve satisfaction as well as motivation” . Orang yang bekerja dengan dasar kerelawanan disebut volunteer atau (sukarelawan).

Di Indonesia Sukarelawan didefinisikan sebagai orang-orang yang secara sukarela memberikan sumbangan pikiran, keahlian, tenaga, waktu, uang, barang (misalnya computer atau perangkat kerja lainnya) dan lain-lain, sebagai wujud kepedulian pada kemanusiaan, perubahan social atau lingkungan tertentu

Beberapa perbedaan dalam definisi tentang kerelawan memunculkan beberapa jenis kegiatan kerelawanan (Govaart, Van Daal, Munz and Keesom 2001). Kegiatan kerelawanan dapat mengambil bentuk formal atau informal. Kerelawanan formal mengacu kepada kerja-kerja kerelawanan yang dilakukan bersama atau melalui sebuah oranganisasi. Formal disini tidak selalu berarti oranganisasinya bersifat voluntary (sukarela), tetapi juga dapat dilakukan pada lembaga-lembaga kerja (perusahaan), lembaga pemerintahan, sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan, atau secara virtual melalui internet. Oranganisasi seperti ini dirujuk sebagai oranganisasi yang terlibat dalam kegiatan kerelawanan (volunteer-involving oranganisations). Kerelawanan informal, pada sisi lain, mengacu pada kerja-kerja kerelawanan yang dilakukan oleh individu atas kehendak pribadinya, tidak melalui suatu oranganisasi, bukan untuk keluarga atau saudaranya, dan tidak mengharapkan imbal balas.

Lebih jauh tentang volunteer silahkan kunjungi Newsletter Voluntary World

Yanti ( mutiara_9@yahoo.com )

Wednesday, April 9, 2008

BERBUAT BAIK TINGKATKAN ANTIBODI

Catatan: ...yang pengen membangun sekalian biar sehat lahir batin, kudu baca artikel ini ya..

Perbuatan baik tak hanya berefek positif bagi orang yang menerima kebaikan itu. Berbuat baik juga akan meningkatkan kesehatan pelakuknya. Tentu jika hal ini dilakukan tanpa pamrih.

Mungkin Anda pernah merasa puas atau luar biasa bahagia saat bantuan Anda bermanfaat bagi si penerima. Dengan kata lain Anda sangat bahagia saat seseorang merasakan juga kebahagiaan atas pertolongan Anda.

Barangkali itulah alasannya kenapa banyak orang melakukannya meski terkadang pertolongan itu hanya bisa membantu seseorang dalam satu periode waktu saja. Artinya, bantuan Anda tidak memberdayakan si penerima untuk mampu mengusahakan sendiri kesejahteraannya.

Ambil contoh, ketika Anda memberikan uang Rp. 1000,- atau mungkin hanya Rp.200,- kepada anak peminta-minta di perempatan dekat pemakanan umum karet Bivak, Jakarta Selatan. Tentu saja uang yang Anda berikan akan habis dalam tempo yang sesingkat-singkatnya karena kebutuhan dan keinginan anak-anak itu juga banyak seperti kita.

Alasan yang sama (ingin bahagia juga) juga besar kemungkinan kita temukan ketika bencana besar melanda Aceh, Nias, Jogja, Nabire serta tempat-tempat lain. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, begitu banyak sumbangan datang ke daerah-daerah bencana.

Meski kerap juga diselipi pamrih tersembunyi, pada dasarnya membiasakan diri memberikan sedekah, bantuan, berbuat baik kepada siapa saja merupakan bagian hidup kita dan seolah-olah menjadi kebutuhan. Tentu saja hal ini positif, terkait dengan sifat pengasih.

Baru Belajar

Dalam sebuah wawancara dengan seorang psikiater dari Phoenix Amerika Serikat, Howard C. Cutler, MD., tokoh spiritual Tibet Dalai Lama menuturkan bahwa sifat pengasih secara kasar dapat didefinisikan sebagai sikap mental yang tidak mengandung kekerasan, tak mengandung bahaya dan tidak agresif.

Sikap mental ini, lanjut Dalai Lama, didasarkan pada keinginan agar orang lain dibebeaskan dari penderitaan dan dikaitkan dengan satu rasa komitmen, tanggung jawab, dan sikap hormat kepada orang lain.

Namun, ketika kita berbicara mengenai sifat pengasih, kerap ada bahaya mencampurkan sifat pengasih ini dengan keterikatan. Menurut Dalai Lama, bila kita bicara tentang sifat pengasih, kita harus membedakan antara cinta atau rasa kasihan.

Ada sikap kasih yang diwarnai keterikatan atau pamrih, misalnya karena ingin dikenal sebagai orang baik, bingung cara menghabiskan uang, atau alasan tanggung jawab moral, merasa sebagai kewajiban, keinginan untuk mengendalikan atau menyayangi seseorang agar orang itu balas menyayangi kita. Kasih serupa itu jelas tidak utuh dan melenceng dari makna sejati. Relasi yang didasarkan pada pada kasih seperti ini tidak akan stabil dan bakal menjurus kepada keterikatan emosional. Begitu ada perubahan sedikit, rasa kasih itu akan menguap.

Kasih sejati bebas dari keterikatan. Kasih semacam ini tidak di dasarkan pada kenyataan bahwa orang itu baik kepada saya. Kasih sayang sejati di dasarkan pada pola pikir bahwa semua orang mempunyai hasrat bawaan untuk bahagia dan mengatasi penderitaannya seperti saya. Jadi kasih sejati tidak peduli apakah orang yang kita tolong itu teman atau musuh.

Dalam sebuah perkawinan misalnya, unsur keterikatan emosional memang ada. Namun jika unsur kasih sayang sejati dikembangkan yang di dasarkan pada sikap saling menghormati sebagai sesama manusia, perkawinan berpeluang untuk langgeng. Sebaliknya bila keterikatan emosional itu tidak diiringi kasih sejati, perkawinan tidak akan menetap dan cenderung akan bubar.

Untuk bisa berbuat baik, melakukan tindakan kasih perlu adanya upaya. Perlu pembiasaan diri. Itu artinya mencintaipun perlu dibiasakan. “Kita ini manusia yang sedang belajar mencintai”, ujar Dalai Lama. Hanya Tuhanlah yang bisa mengatakan, “Aku mencintaimu”. Artinya kita hanya layak mengatakan aku sedang belajar mencintaimu. Sekarang tinggal keputusan kita. Mau mengembangkannya atau tidak.

Dialiri Gairah.

Beberapa tahun belakangan ini ada beberapa penelitian yang mendukung gagasan bahwa mengembangkan sikap kasih dan peduli akan kesejahteraan orang lain (doing goog – berbuat baik) berdampak positif pada kesehatan, baik fisik maupun emosi pelakunya.

Salah satu penelitian mengenai altruisme yang cukup lengkap dilakukan oleh Allan Luks dan didokumentasikan dalam buku The Healing Power of Doing Good: The Health and Spiritual Benefits of Helping Others, yang terbit tahun 1991. Luks adalah mantan direktur eksekutif The Institute of The Advancement of Health dan direktur eksekutif Big Brothers Big Sisters of New York City.

Penelitian Luks melibatkan lebih dari 3.000 sukarelawan dari segala umur di lebih dari 20 organisasi tersebar di Amerika Serikat. Ia mengirim 17 pertanyaan pada para responden dan menanyakan apa yang mereka rasakan ketika melakukan perbuatan baik itu. Sekitar 3.296 jawaban diterima. Setelah dianalisis, Luks melihat secara jelas hubungan sebab akibat antara menolong dan tingkat kesehatan.

Luks menyimpulkan, “Menolong orang lain, memberi sumbangan bagi terpeliharanya kesehatan kita dan dapat mengurangi efek penyakit dan kekacauan serius maupun ringan, baik secara psikologis maupun fisik”.

Para sukarelawan ini bersaksi bahwa mereka merasakan aliran gairah eforia yang diikuti dengan periode rasa tenang dan bahagia setelah menjalankan aktivitas sosial. Perasaan yang disebut Luks Helper’s High ini melibatkan sensasi-sensasi yang sangat kuat yang mengindikasikan adanya penurunan tingkat stress dan melepaskan pembunuh rasa sakit alamiah dalam tubuh yang disebut endorfin. Awal munculnya gairah ini diikuti oleh periode kondisi yang sangat tenang dalam waktu cukup lama. Penurunan tingkat stres ini bagi para sukarelawan dianggap sangat penting untuk meningkatkan kesehatan mereka. Faktanya, lebih dari 90 persen sukarelawan melaporkan keadaan ini.,

Lebih dari itu Luks menyatakan, “ Pada titik ini kita mesti memahami bahwa berbedanya status pikiran sangat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh”. Kita tahu sistem imun merupakan senjata dalam melawan tumbuhnya tumor.

Dalam penelitian ini memang belum ada bukti yang memadai hubungan antara kebiasaan berbuat baik dengan kemampuan tubuh dalam mencegah atau bahkan melawan kanker. Manum penelitrian lain yang dilakukan Sandra Levy, menemukan bahwa bahwa kegembiraan yang penuh pada wanita penyandang kanker payudara sangat bermanfaat karena memampukan mereka bertahan hidup.

Kebiasaan berbuat baik, menurut penelitian ini, mampu mengkondisikan seseorang berada dalam emosi stabil dan mengurangi stres. Dengan demikian bisa memperlambat pertumbuhan kanker.

Pangkas Resiko Penyakit.

Bila Anda masih belum yakin terhadap efek positif berbuat baik, berikut ini bukti penelitrian seorang profesor psikolog dari Amerika Serikat, David McClelland. Sebelum mengajar di Boston University, David sempat mengajar di Harvard University.

Pada tahun 1970-an dia mulai meneliti bagaimana seseorang dapat meningkatkan fungsi sistem imunnya sendiri. Sebagai bagian dari penelitian ini, David mempertontonkan film tentang Ibu Theresa yang sedang menolong bayi-bayi di Calcutta, India, kepada sekelompok Mahasiswa Harvard.

Film ini merangsang keharuan mahasiswanya. Dari analisis terhadap cairan ludah mereka, diketahui bahwa imunoglobulin A, antibodi atau sistem kekebalan tubuh yang bermanfaat dalam melawan virus penyerang saluran nafas meningkat. Sementara film mengenai Nazi yang dipertontonkan kepada mahasiswa tidak memberi efek apapun pada kadar imunoglobin A.

Saat David menganalisis tanggapan para mahasiswanya, ia menemukan fakta lain yang cukup menarik. Para mahasiswa yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang cukup bagus ini ternyata tidak sekedar ingin berelasi dengan orang lain, melainkan menginginkan perbuatan positif (terlibat dengan orang lain) tanpa memedulikan imbalan.

McClelland dan koleganya menyimpulkan bahwa sekali kita berniat membangun hubungan persahabatan, cinta, atau melakukan sesuatu yang positif, kita akan merasakan emosi yang pada akhirnya akan menaikkan sistem kekebalan tubuh kita.

Penelitian lain yang dilakukan oleh para ahli di Harvard menunjukkan kesimpulan serupa. Para mahasiswa yang cukup aktif dalam kelompok sosial maupun mengembangkan sikap percaya pada kelompoknya menunjukkan peningkatan rasio sel T supresor, satu parameter kekebalan tubuh yang biasa digunakan untuk melawan penyakit.

Akhirnya McClelland menyatakan, “ Kami memiliki bukti awal dari penelitian yang panjang bahwa mereka yang memiliki sikap percaya pada kelompoknya beresiko lebih rendah mengalami sakit berat, sembilan tahun sesudahnya setelah dianalisis.”

Menolong orang lain, menurut Luks menambahkan, merupakan cara terbaik mempertebalrasa (sense) percaya dan menambah kekuatan perlindungan tubuh melawan penyakit.

Bukti lain bahwa perbuatan sosial yang dilakukan secara teratur bermanfaat positif ditemukan dari penelitian yang berlangsung selama 10 tahun atas 2.700 lali-lali di Tecumseh. Micighan, AS.

Penelitian atas konsisi fisik, kesehatan, aktifitas sosial ini menemukan bahwa mereka yang nelakukan kegiatan sosial secara sukarela, dua kali lebih rendah resiko meninggal dunia daripada yang tidak.

Kanker pun Tunduk

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh James House dari University of Michigan Research Center menemukan bahwa kegiatan sukarela yang dijalankan secara teratur serta interaksi dengan orang lain secara hangat dan kasih menimbulkan peningkatan dramatis pada angka harapan hidup dan vitalitas secara keseluruhan.

Keharuan dan kepedulian pada penderitaan orang lain ternyata bisa membantu menyehatkan emosi kita. Banyak penelitian menegaskan bahwa mengulurkan tangan bagi orang lain mampu meningkatkan rasa bahagia dan ketenangan, serta mengurangi depresi.

Penelitian oleh George Vaillant pun menyimpulkan bahwa penerapan gaya hidup altruisme menjadi komponen penting bagi terpeliharanya kesehatan mental. Beberapa efek lain yang bisa dirasakan adalah :
- Muncul rasa optimis dan tampak bahagia
- Meningkatnya kegirangan dan eforia
- Rasa nyaman yang luar biasa
- Meningkatnya energi
- Perasaan lebih sehat
- Berkurangnya rasa sendiri, depresi, dan perasaan tanpa pertolongan
- Rasa terhubung dengan orang lain
- Rasa tenang dan rileks yang luar biasa
- Panjang umur
- Terkontrolnya berat badan
- Menurunnya insomnia
- Meningkatnya sistem kekebalan tubuh
- Berkurangnya rasa nyeri dan sakit
- Meningkatnya kehangan tubuh
- Kondisi kardiovaskuler lebih sehat (tekanan darah dan resiko penyakit koroner menurun, sirkulasi darah meningkat)
- Menurunnya kadar asam lambung yang berlebih
- Berkurangnya gejala artritis dan asma
- Lebih cepat sembuh bila mengalami operasi
- Menurunkan aktivitas kanker

Kebaikan Memberi Efek Domino

Beragam bukti ilmiah memberi dukungan yang nyata atas manfaat berbuat baik, tetapi Dalai Lama menegaskan agar kita tidak perlu menggantungkan diri pada eksperimen dan survei untuk menegaskan pandangan ini.

Kita dapat menemukan hubungan erat antara sikap peduli. Sikap kasih dan kebahagiaan dalam hidup kita sendiri serta dalam hidup orang-orang di sekitar kita. Saat memutuskan untuk berbuat baik, Anda tidak hanya sedang berupaya mengembangkan situasi yang baik dan sehat bagi Anda saja, melainkan juga bagi orang-orang yang berhubungan dengan Anda atau lingkungan sekitarnya.

Kebaikan Anda akan berefek domino. Saat Anda berbuat baik pada seseorang, Anda membawa energi positif pada lingkungan di sekitra. Anda telah memengaruhi mengubah kondisi lingkungan dengan sesuatu yang baik.

Karena itu, berbuat baik bukan sekedar memberi efek positif pada diri sendiri, melainkan juga pada komunitas. Alan Luks menyebutkan, ”Hal baru yang bisa kita peroleh dari berbuat baik pada orang lain adalah perbuatan baik ini tidak hanya bermanfaat bagi meningkatnya kesehatan individu, melainkan juga mempengaruhi secara positif seluruh kondisi lingkungan sosial kita. (Sumber: Tabloid Senior No. 388 tahun 2006)
Yanti

Sunday, April 6, 2008

gperkenalan

ghaloo.... gkok gpada gserius gsmua gsih

Wednesday, April 2, 2008

Benarkah perempuan ingin berpolitik?

Benarkah Perempuan Ingin Berpolitik?
oleh M. Iqbal El Hidayat

Menjelang pelaksanaan pemilu 2004, setiap partai gembar-gembor akan memenuhi kuota 30% perempuan di kursi legislatif. Namun dalam kenyataannya calon anggota legislatif (caleg) perempuan banyak ditempatkan bukan pada nomor urut potensial. Usaha untuk mewujudkan 30 % kuota perempuan masih mengalami banyak hambatan, baik dari kaum laki-laki maupun dari kaum perempuan sendiri. Budaya patriarki yang masih kuat menjadi salah satu hambatan cukup besar. Kaum lelaki belum siap untuk bersaing dengan kaum perempuan, karena adanya kekhawatiran dominasinya akan semakin berkurang.
Banyak caleg perempuan yang kehilangan rasa percaya diri karena selalu dipojokkan untuk bisa menunjukkan dulu kualitasnya sebelum partai bersedia mencalonkan mereka. Keberhasilan perempuan akan tergantung pada “bagaimana mereka dapat menjual dirinya” (Kompas, 27 Oktober 2003). Ternyata kesiapan untuk melaksanakan UU No 12 tahun 2003 pasal 65 ayat (1) belum sepenuhnya dilakukan oleh parpol. Wacana mengenai keterwakilan perempuan di legislatif telah mengemuka sebelum pemilu 1999, namun wacana tersebut tidak diiringi dengan komitmen untuk merealisasikannya. Bahkan ada kecenderungan isu ini hanya digunakan untuk menarik simpati saja.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Centre for Electoral Reform (CETRO), telah terjadi penurunan jumlah perempuan dalam arena politik formal secara bertahap dalam tiga pemilu terakhir. Penurunan tersebut sebesar : dari 13% pada pemilu 1987 menjadi 12,5% pada pemilu 1992, lalu turun menjadi 10,8% dalam pemilu 1997, dan pada pemilu 1999 hanya mencapai 9%. Ternyata pemilu 1999 yang dianggap pemilu paling demokratis setelah jatuhnya Soeharto, justru kurang mengakomodir suara perempuan, bahkan pada pemilu 1999 tersebut kuota perempuan di legislatif berada di titik terendah.
Berdasarkan data statistik yang dikeluarkan oleh United Nation Statistics Division mengenai kecenderungan perempuan dalam kehidupan publik di 190 negara, secara umum telah terjadi perkembangan positif dalam keterwakilan perempuan di parlemen negara-negara di dunia. Tapi sayangnya Indonesia tidak termasuk dalam kelompok negara-negara yang menunjukkan perekembangan ini. Bagaimana tidak, dalam pemilu 1999 yang dianggap paling demokratis pun keterwakilan perempuan hanya mencapai 9 % dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya.
Memang untuk memenuhi kuota 30 % tidak semudah yang dibayangkan. Tidak semua pihak menerima dengan lapang dada kehadiran perempuan di legislatif maupun di pemerintahan.
Budaya patriarki masih menganggap perempuan sebagai golongan yang seharusnya hanya mengurusi masalah “domestik”. Disamping itu, tekad dan kemauan dari kaum perempuan sendiri kurang berkembang. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah setiap perempuan siap dan mau untuk berpolitik? Di Amreika Serikat sendiri, yang notabene sebagai negara demokrasi terbesar, keterwakilan perempuan di parlemen belum mencapai 30 %, hanya mencapai 25 % hingga 28 %. Keadaan ini disebabkan oleh keengganan dari perempuan untuk terjun berpolitik dan mencalonkan diri menjadi anggota legislatif.
Budaya yang berkembang diinternal perempuan sendiri belum mendukung untuk menjadikan perempuan terjun ke dalam dunia politik. Meskipun dalam pemilu 2004 perempuan banyak yang menjadi caleg, namun belum menjadi indikator yang bisa dibanggakan. Mengapa demikian? Gejala ini perlu diwaspadai hanya sebagai eforia saja. Bahkan tidak tertutup kemungkinan perempuan hanya digunakan sebagai vote getter semata bagi partai. Kalangan artis banyak yang menjadi caleg, meskipun mereka menyangkal hanya digunakan sebagai vote getter, namun dalam kenyataannya mereka tidak dapat menyembunyikan keartisannya sebagai nilai jual pada saat kampanye.
Keterwakilan perempuan sebesar 30 % akan tercapai jika kesadaran politik di kalangan perempuan telah terbangun. Untuk membangun kesadaran politik tersebut, harus didukung oleh infrastruktur yang ada di setiap partai. Hampir setiap partai belum mengatur secara spesifik mengenai anggota perempuan dalam AD/ART nya. Selain perlunya dibangun koalisi perempuan yang secara intensif melakukan sosialisasi mengenai pentingnya keterwakilan perempuan di legislatif. Karena jika tidak terbangun kesadaran dari internal kaum perempuan sendiri, kuota 30 % tidak akan pernah tercapai.
Permasalahannya sekarang, apakah setelah duduk di legislatif mereka akan lebih sensitif terhadap permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan perempuan atau tidak? Apakah setelah terpenuhinya kuota 30 % akan terjadi perubahan seperti yang diharapkan atau justru sebaliknya? Ini pun harus menjadi bahan refleksi bagi kaum perempuan pada khususnya. Agar kehadiran mereka di legislatif tidak hanya menjadi simbol semata, namun mampu memperjuangkan aspirasinya.
Secara umum kesadaran politik di kalangan perempuan belum terbangun, bahkan banyak kendala yang dihadapi baik secara struktural maupun secara kultural. Meski demikian, lahirnya UU No.12 Tahun 2003 dapat dijadikan tonggak awal perjuangan bagi perempuan untuk memperjuangkan aspirasinya di legislatif.

Tentang Studi Pembangunan ITB

Studi Pembangunan adalah suatu bidang multidisiplin yang mengkaji proses-proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang sedang membangun (developing societies). Analisis yang dikembangkan dalam Studi Pembangunan ditujukan untuk memahami berbagai dimensi yang saling terkait dalam proses pembangunan, yakni masyarakat, institusi, teknologi, kapital, pengetahuan, dan lingkungan. Tujuan dari Studi Pembangunan adalah untuk memahami implikasi-implikasi dari perubahan yang terjadi di masyarakat sebagai bentuk kosekuensi dari program pembangunan yang dicanangkan oleh berbagai institusi yang terlibat di dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengendalian pembangunan. Pemahaman dari berbagai perspektif yang dihasilkan oleh Studi Pembangunan dapat menjadi masukan penting dalam terbentuknya suatu sistem pengelolaan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan.

Sejak pemerintah Orde Baru memulai program pembangunan, banyak hal yang telah dilakukan yang kesemuanya tertuju pada upaya modernisasi yang meliputi sektor ekonomi, industri, dan birokrasi. Tetapi program pembangunan Orde Baru tidak hanya menghasilkan prestasi tetapi juga masalah kronis. Ketimpangan ekonomi regional dan struktural, kemiskinan, ketergantungan, dan inefisiensi birokrasi adalah beberapa masalah yang menghambat proses terciptanya masyarakat yang adil dan sejahtera. Hal ini menunjukkan bahwa tolok ukur pembangunan jauh lebih kompleks dari semata pertumbuhan ekonomi. Karena itu, Studi Pembangunan di ITB diarahkan pada pemahaman proses pembangunan sebagai suatu perubahan multidimensi yang membutuhkan berbagai alat analisis untuk memahaminya secara mendalam.

Program Magister Studi Pembangunan di ITB berdiri pada tahun 1993 yang berangkat dari sebuah keinginan untuk menyediakan jembatan bagi bertemunya bidang sosial dengan bidang teknologi. Kurikulum Studi Pembangunan ITB disusun berdasarkan kebutuhan dan kondisi pembangunan kontemporer. Studi Pembangunan ITB sangat relevan dan bermanfaat bagi para pembuat kebijakan, pelaku administrasi publik, pelaku usaha dan perbankan, aktivis lembaga non-pemerintah, pelaku riset dan iptek, pelaku sosial-politik, dan unsur-unsur sosial lain di masyarakat.

Program Magister Studi Pembangunan di Institut Teknologi Bandung berfokus pada pengembangan teori, strategi dan prinsip normatif tentang pembangunan dengan berpijak pada suatu kerangka pikir yang memahami aspek-aspek ekonomi, teknologis, sosial dan kemanusiaan, serta lingkungan dalam suatu kesatuan yang utuh. Program Magister Studi Pembangunan ITB memberikan layanan pendidikan yang unggul untuk membekali mahasiswa dengan :

- kemampuan berpikir kritis dan terbuka
- ketrampilan analitik dan pemodelan
- kemampuan mengembangkan strategi
- wawasan yang berorientasi ke masa depan

Lebih dari 400 alumni PMSP ITB kini telah menempati posisi-posisi penting di departemen-departemen dan badan-badan pemerintahan, perusahaan-perusahaan swasta, LSM-LSM, lembaga-lembaga konsultan, lembaga-lembaga riset ataupun perguruan-perguruan tinggi. Lulusan PMSP yang melanjutkan studi ke jenjang doktoral mendalami bidang-bidang yang terpaut dengan studi pembangunan seperti studi governance, kebijakan teknologi, perubahan sosial, ekonomi lingkungan, dan lain-lain.

ditempel dari: http://www.spitb.or.id/tentang.html, 3 April 2008

Sunday, March 30, 2008

Logo itb

Label Cloud


 

Design by Amanda @ Blogger Buster