Saturday, May 17, 2008

Should we just be proud?

Renungan 100 Tahun Kebangkitan Nasional
Sampai kapan kita hanya bisa berbangga?

  • Republik Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau (termasuk 9.634 pulau yang belum diberinama dan 6.000 pulau yang tidak berpenghuni). Disini ada 3 dari 6 pulau terbesardidunia, yaitu : Kalimantan (pulau terbesar ketiga di dunia dengan luas 539.460km2), Sumatera (473.606 km2) dan Papua (421.981 km2).

Wednesday, May 14, 2008

Mencintai Produk Lokal

Peran Masyarakat dalam Pengembangan Ekonomi



Saat belanja di Supermarket, diinformasi mengenai subsidi pemerintah untuk minyak goreng dan terigu. Sebelumnya memang sempat kaget, roti tawar yang biasanya Rp. 5.600 naik menjadi Rp. 7.000,- Muncul tanya dalam hati , apakah minyak goreng dan produk berbasis terigu yang dijual di supermarket besar pantas mendapatkan subsidi pemerintah? Siapakah sebenarnya belanja toko-toko sekelas itu?

Mungkin pemerintah perlu memikirkan mekanisme subsidi yang lebih tepat. Tapi baiklah, itu mungkin bukan porsi kita. Biar pemerintah dan para ahli yang memikirkan. Kita mungkin cuma bisa mendorong dan menghimbau. Namun ada yang bisa kita lakukan biar ekonomi bangsa ini tidak semakin terpuruk, minimal berperan mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat dengan MENCINTAI PRODUK LOKAL.

Lalu ingat kunjungan ke kota kecil Sragen (http://www.sragen.go.id/). Pemda Sragen (yang berhasil mereformasi birokrasi dan melakukan inovasi pemerintahan) sangat mendorong penggunaan produk lokal pada jajaran pemerintahan dan masyarakatnya. Bila berkunjung kesana, kita akan menjumpai himbauan moral dan teladan agar mengarus-utamakan konsumsi produk lokal. Tidak hanya makanan, tetapi juga pakaian.

Dalam berbagai pertemuan, rapat, pelatihan dsb kita akan menemukan sajian makanan kecil yang menggunakan bahan non beras/ terigu . Pemerintah dan masyarakatnya bersama-sama berusaha mengurangi konsumsi terigu atau bahan pangan import. Disisi lain mereka juga mendorong diversifikasi pangan non-beras, dengan memperkenalkan ganyong, garut, singkong, ubi, kentang dsb. untuk meningkatkan ketahanan pangan. Kebijakan ini kemudian mendorong inovasi dalam berbagai kegiatan masyarakat, mulai dari inovasi sistem pertanian, pengolahan bahan makanan (roti berbahan singkong, ganyong dsb).

Menghadapi serbuan pakaian import Pemda Sragen secara sadar mengembangkan kebudayaan untuk menggunakan batik. 3 hari dalam seminggu mereka menggunakan pakaian batik. Tamu-tamu yang berkunjung ke Pemda Sragen, baik tamu dalam maupun luar negeri (bila memungkinkan – sangat disarankan) untuk menggunakan Batik. Mereka juga mengembangkan batik untuk kaum muda.

Logika sederhananya adalah, PDB (Pendapatan Perkapita) = Konsumsi Masyarakat + Belanja Pemerintah + Investasi + Ekspor – Impor.

ketika konsumsi produk lokal naik, akan terjadi peningkatan pendapatan para produsen. Peningkatan pendapatan akan memungkinkan mereka untuk meningkatkan kapasitas produksi dan penyerapan tenaga kerja. Pendapatan mereka meningkat, daya beli mereka meningkat. Modal kerja mereka juga meningkat, yang memungkinkan investasi peralatan dan upaya peningkatan kualitas, atau kemampuan untuk melakukan pengembangan produk. Ini akan mendorong inovasi dan tumbuhnya kreatifitas. Perkembangan teknologi akan terpacu.

Perkembangan sektor real akan meningkatkan kebutuhan bahan baku dan penunjang. Perkembangan produksi lokal dengan bahan-bahan lokal akan mengurangi import. Pengurangan import akan menghemat devisa. Perlu kita ingat bahwa import yang tinggi memerlukan cadangan devisa yang besar. Cadangan devisa yang tidak memadai akan memaksa pemerintah untuk berhutang lagi. Hutang, menyebabkan beban pemerintah dan masyarakat semakin besar.

Jelas, bahwa keputusan kita – pribadi per pribadi – sangat menentukan perkembangan ekonomi dan kemajuan negara ini. Jadi mari mengutamakan konsumsi produk negeri sendiri dan berproduksi dengan menggunakan sumber daya negeri sendiri.

Tidak mudah memang dan tidak sesederhana itu, karena menyangkut kenyamanan yang selama ini kita nikmati. Kita masih sangat mudah tergoda untuk belanja tanpa pertimbangan untuk mengutamakan produk lokal. Tapi kalau bukan sekarang dan tidak kita upayakan, KAPAN LAGI? Jangan menunggu sampai kita terjajah secara ekonomi. Menggerakkan ekonomi lokal akan menjadi pertahanan yang tangguh dalam menghadapi perdagangan bebas yang akan segera tiba. Kita tentu tidak ingin generasi selanjutnya hanya menjadi buruh dinegara sendiri.


Salam,
Yanti 09.05.08

Friday, May 2, 2008


Belajar dari Kearifan Lokal Bangsa ini...

Belum lagi selesai tindakan kekerasan masyarakat yang menyerang tempat ibadah golongan Ahmadiah di Semarang. Ada lagi bentrokan di desa 10 Koto, Solok, sedih sekali rasanya. Dulu ketika menyaksikan kerusuhan di Poso, Ambon, Aceh dan beberapa daerah lain, tidak pernah terbayangkan bahwa mimpi buruk itu bakal terjadi di Ranah Minang. Mengapa sekarang kita begitu mudah untuk bertikai dan saling menyalahkan? Bahkan antar lembaga yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat.

Sekali darah tertumpah...sekali senjata bicara...sekali rumah terbakar....tidak lagi mudah untuk menyelesaikannya. Semua kemudian merasa berhak untuk saling membalaskan. Belum lagi saling silang pendapat orang-orang yang merasa ahli dan merasa memiliki kapabilitas untuk menyelesaikan masalah. Belum lagi lembaga-lembaga yang entah dari mana asal-usulnya, ingin berperan entah untuk tujuan apa. Belum lagi laporan media yang menayangkan gambar-gambar yang kian membakar amarah dan menebar kengerian.

Lalu...saya ingat sebuah buku yang saya beli kira-kira 5 tahun yang lalu. KEN SA FAAK – Benih-benih Perdamaian dari Pulau Kei. Bila ditanya tentang Pulau Kei, mungkin tak banyak dari kita yang tahu. Gugusan pulau-pulau kecil yang merupakan bagian Kepulauan Maluku. 5 jam 20 menit dengan 2 kali transit dari Jakarta bila menggunakan pesawat udara. 5 hari 5 malam suntuk bila menggunakan kapal laut.

Tak banyak dari kita yang menaruh perhatian, ketika di sana meletus 2 konflik besar tahun 1999 (tidak lama berselang setelah konflik Ambon dan Halmahera). Tercatat 200 korban jiwa terbunuh, ratusan lainnya menderita luka parah, 20 desa nyaris rata dengan tanah, 30.000 orang mengungsi di puluhan bangsal penampungan.

Di sana pulalah antara Juli 1999 sampai Februari 2000 telah berlangsung suatu proses rekonsiliasi yang berhasil menghentikan kerusuhan dan konflik tersebut. Dan nyaris tidak ada yang memberitakannya. Perhatian media-massa dan banyak orang masih lebih tersita oleh gegap gempita proses-proses rekonsiliasi di Ambon, Ternate, dan Poso yang gagal berkali-kali. Di sinilah kita bisa melihat suatu contoh bagaimana suatu masyarakat menemukan kembali ”kekuatan tradisi” dan ”kearifan lokal” mereka untuk keluar dari kemelut permasalahan yang mereka hadapi, untuk menciptakan perdamaian dan menghentikan tindak kekerasan, bukan dengan cara kekerasan pula yang hanya akan melahirkan lingkaran kekerasan yang baru yang tak akan ada habisnya.


Inilah pelajaran terpenting dan sumbangan paling berharga masyarakat Kei kepada kita semua. Suatu proses rekonsiliasi yang berhasil sepenuhnya atas usaha dan berdasarkan sistem adat mereka sendiri, nyaris tanpa campur tangan pemerintah, aparat keamanan, dan lembaga-lembaga internasional.

Selayaknya pula kita belajar pada bangsa sendiri. Banyak aktivis Indonesia terpukau dengan proses rekonsiliasi yang berlangsung di berbagai negara. Banyak pula pakar dan konsultan yang pernah di datangkan ke negeri ini dengan kerangka tawaran yang rumit. Hampir semuanya sebenarnya sepakat dan mengajukan satu hal yang sama : pentingnya menemukan suatu mekanisme ”alternatif penyelesaian sengketa” yang lebih sesuai dengan konteks lokal. Lalu mengapa tidak mencoba mencari solusi di tanah sendiri?

Salam,
Yanti (mutiara_9@yahoo.com)
Bandung 02.04.2008

Label Cloud


 

Design by Amanda @ Blogger Buster