Belajar dari Kearifan Lokal Bangsa ini...
Belum lagi selesai tindakan kekerasan masyarakat yang menyerang tempat ibadah golongan Ahmadiah di Semarang. Ada lagi bentrokan di desa 10 Koto, Solok, sedih sekali rasanya. Dulu ketika menyaksikan kerusuhan di Poso, Ambon, Aceh dan beberapa daerah lain, tidak pernah terbayangkan bahwa mimpi buruk itu bakal terjadi di Ranah Minang. Mengapa sekarang kita begitu mudah untuk bertikai dan saling menyalahkan? Bahkan antar lembaga yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat.
Sekali darah tertumpah...sekali senjata bicara...sekali rumah terbakar....tidak lagi mudah untuk menyelesaikannya. Semua kemudian merasa berhak untuk saling membalaskan. Belum lagi saling silang pendapat orang-orang yang merasa ahli dan merasa memiliki kapabilitas untuk menyelesaikan masalah. Belum lagi lembaga-lembaga yang entah dari mana asal-usulnya, ingin berperan entah untuk tujuan apa. Belum lagi laporan media yang menayangkan gambar-gambar yang kian membakar amarah dan menebar kengerian.
Lalu...saya ingat sebuah buku yang saya beli kira-kira 5 tahun yang lalu. KEN SA FAAK – Benih-benih Perdamaian dari Pulau Kei. Bila ditanya tentang Pulau Kei, mungkin tak banyak dari kita yang tahu. Gugusan pulau-pulau kecil yang merupakan bagian Kepulauan Maluku. 5 jam 20 menit dengan 2 kali transit dari Jakarta bila menggunakan pesawat udara. 5 hari 5 malam suntuk bila menggunakan kapal laut.
Tak banyak dari kita yang menaruh perhatian, ketika di sana meletus 2 konflik besar tahun 1999 (tidak lama berselang setelah konflik Ambon dan Halmahera). Tercatat 200 korban jiwa terbunuh, ratusan lainnya menderita luka parah, 20 desa nyaris rata dengan tanah, 30.000 orang mengungsi di puluhan bangsal penampungan.
Di sana pulalah antara Juli 1999 sampai Februari 2000 telah berlangsung suatu proses rekonsiliasi yang berhasil menghentikan kerusuhan dan konflik tersebut. Dan nyaris tidak ada yang memberitakannya. Perhatian media-massa dan banyak orang masih lebih tersita oleh gegap gempita proses-proses rekonsiliasi di Ambon, Ternate, dan Poso yang gagal berkali-kali. Di sinilah kita bisa melihat suatu contoh bagaimana suatu masyarakat menemukan kembali ”kekuatan tradisi” dan ”kearifan lokal” mereka untuk keluar dari kemelut permasalahan yang mereka hadapi, untuk menciptakan perdamaian dan menghentikan tindak kekerasan, bukan dengan cara kekerasan pula yang hanya akan melahirkan lingkaran kekerasan yang baru yang tak akan ada habisnya.
Inilah pelajaran terpenting dan sumbangan paling berharga masyarakat Kei kepada kita semua. Suatu proses rekonsiliasi yang berhasil sepenuhnya atas usaha dan berdasarkan sistem adat mereka sendiri, nyaris tanpa campur tangan pemerintah, aparat keamanan, dan lembaga-lembaga internasional.
Selayaknya pula kita belajar pada bangsa sendiri. Banyak aktivis Indonesia terpukau dengan proses rekonsiliasi yang berlangsung di berbagai negara. Banyak pula pakar dan konsultan yang pernah di datangkan ke negeri ini dengan kerangka tawaran yang rumit. Hampir semuanya sebenarnya sepakat dan mengajukan satu hal yang sama : pentingnya menemukan suatu mekanisme ”alternatif penyelesaian sengketa” yang lebih sesuai dengan konteks lokal. Lalu mengapa tidak mencoba mencari solusi di tanah sendiri?
Salam,
Yanti (mutiara_9@yahoo.com)
Bandung 02.04.2008
Sekali darah tertumpah...sekali senjata bicara...sekali rumah terbakar....tidak lagi mudah untuk menyelesaikannya. Semua kemudian merasa berhak untuk saling membalaskan. Belum lagi saling silang pendapat orang-orang yang merasa ahli dan merasa memiliki kapabilitas untuk menyelesaikan masalah. Belum lagi lembaga-lembaga yang entah dari mana asal-usulnya, ingin berperan entah untuk tujuan apa. Belum lagi laporan media yang menayangkan gambar-gambar yang kian membakar amarah dan menebar kengerian.
Lalu...saya ingat sebuah buku yang saya beli kira-kira 5 tahun yang lalu. KEN SA FAAK – Benih-benih Perdamaian dari Pulau Kei. Bila ditanya tentang Pulau Kei, mungkin tak banyak dari kita yang tahu. Gugusan pulau-pulau kecil yang merupakan bagian Kepulauan Maluku. 5 jam 20 menit dengan 2 kali transit dari Jakarta bila menggunakan pesawat udara. 5 hari 5 malam suntuk bila menggunakan kapal laut.
Tak banyak dari kita yang menaruh perhatian, ketika di sana meletus 2 konflik besar tahun 1999 (tidak lama berselang setelah konflik Ambon dan Halmahera). Tercatat 200 korban jiwa terbunuh, ratusan lainnya menderita luka parah, 20 desa nyaris rata dengan tanah, 30.000 orang mengungsi di puluhan bangsal penampungan.
Di sana pulalah antara Juli 1999 sampai Februari 2000 telah berlangsung suatu proses rekonsiliasi yang berhasil menghentikan kerusuhan dan konflik tersebut. Dan nyaris tidak ada yang memberitakannya. Perhatian media-massa dan banyak orang masih lebih tersita oleh gegap gempita proses-proses rekonsiliasi di Ambon, Ternate, dan Poso yang gagal berkali-kali. Di sinilah kita bisa melihat suatu contoh bagaimana suatu masyarakat menemukan kembali ”kekuatan tradisi” dan ”kearifan lokal” mereka untuk keluar dari kemelut permasalahan yang mereka hadapi, untuk menciptakan perdamaian dan menghentikan tindak kekerasan, bukan dengan cara kekerasan pula yang hanya akan melahirkan lingkaran kekerasan yang baru yang tak akan ada habisnya.
Inilah pelajaran terpenting dan sumbangan paling berharga masyarakat Kei kepada kita semua. Suatu proses rekonsiliasi yang berhasil sepenuhnya atas usaha dan berdasarkan sistem adat mereka sendiri, nyaris tanpa campur tangan pemerintah, aparat keamanan, dan lembaga-lembaga internasional.
Selayaknya pula kita belajar pada bangsa sendiri. Banyak aktivis Indonesia terpukau dengan proses rekonsiliasi yang berlangsung di berbagai negara. Banyak pula pakar dan konsultan yang pernah di datangkan ke negeri ini dengan kerangka tawaran yang rumit. Hampir semuanya sebenarnya sepakat dan mengajukan satu hal yang sama : pentingnya menemukan suatu mekanisme ”alternatif penyelesaian sengketa” yang lebih sesuai dengan konteks lokal. Lalu mengapa tidak mencoba mencari solusi di tanah sendiri?
Salam,
Yanti (mutiara_9@yahoo.com)
Bandung 02.04.2008
0 comments:
Post a Comment