Benarkah Perempuan Ingin Berpolitik?
oleh M. Iqbal El Hidayat
oleh M. Iqbal El Hidayat
Menjelang pelaksanaan pemilu 2004, setiap partai gembar-gembor akan memenuhi kuota 30% perempuan di kursi legislatif. Namun dalam kenyataannya calon anggota legislatif (caleg) perempuan banyak ditempatkan bukan pada nomor urut potensial. Usaha untuk mewujudkan 30 % kuota perempuan masih mengalami banyak hambatan, baik dari kaum laki-laki maupun dari kaum perempuan sendiri. Budaya patriarki yang masih kuat menjadi salah satu hambatan cukup besar. Kaum lelaki belum siap untuk bersaing dengan kaum perempuan, karena adanya kekhawatiran dominasinya akan semakin berkurang.
Banyak caleg perempuan yang kehilangan rasa percaya diri karena selalu dipojokkan untuk bisa menunjukkan dulu kualitasnya sebelum partai bersedia mencalonkan mereka. Keberhasilan perempuan akan tergantung pada “bagaimana mereka dapat menjual dirinya” (Kompas, 27 Oktober 2003). Ternyata kesiapan untuk melaksanakan UU No 12 tahun 2003 pasal 65 ayat (1) belum sepenuhnya dilakukan oleh parpol. Wacana mengenai keterwakilan perempuan di legislatif telah mengemuka sebelum pemilu 1999, namun wacana tersebut tidak diiringi dengan komitmen untuk merealisasikannya. Bahkan ada kecenderungan isu ini hanya digunakan untuk menarik simpati saja.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Centre for Electoral Reform (CETRO), telah terjadi penurunan jumlah perempuan dalam arena politik formal secara bertahap dalam tiga pemilu terakhir. Penurunan tersebut sebesar : dari 13% pada pemilu 1987 menjadi 12,5% pada pemilu 1992, lalu turun menjadi 10,8% dalam pemilu 1997, dan pada pemilu 1999 hanya mencapai 9%. Ternyata pemilu 1999 yang dianggap pemilu paling demokratis setelah jatuhnya Soeharto, justru kurang mengakomodir suara perempuan, bahkan pada pemilu 1999 tersebut kuota perempuan di legislatif berada di titik terendah.
Berdasarkan data statistik yang dikeluarkan oleh United Nation Statistics Division mengenai kecenderungan perempuan dalam kehidupan publik di 190 negara, secara umum telah terjadi perkembangan positif dalam keterwakilan perempuan di parlemen negara-negara di dunia. Tapi sayangnya Indonesia tidak termasuk dalam kelompok negara-negara yang menunjukkan perekembangan ini. Bagaimana tidak, dalam pemilu 1999 yang dianggap paling demokratis pun keterwakilan perempuan hanya mencapai 9 % dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya.
Memang untuk memenuhi kuota 30 % tidak semudah yang dibayangkan. Tidak semua pihak menerima dengan lapang dada kehadiran perempuan di legislatif maupun di pemerintahan.
Budaya patriarki masih menganggap perempuan sebagai golongan yang seharusnya hanya mengurusi masalah “domestik”. Disamping itu, tekad dan kemauan dari kaum perempuan sendiri kurang berkembang. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah setiap perempuan siap dan mau untuk berpolitik? Di Amreika Serikat sendiri, yang notabene sebagai negara demokrasi terbesar, keterwakilan perempuan di parlemen belum mencapai 30 %, hanya mencapai 25 % hingga 28 %. Keadaan ini disebabkan oleh keengganan dari perempuan untuk terjun berpolitik dan mencalonkan diri menjadi anggota legislatif.
Budaya yang berkembang diinternal perempuan sendiri belum mendukung untuk menjadikan perempuan terjun ke dalam dunia politik. Meskipun dalam pemilu 2004 perempuan banyak yang menjadi caleg, namun belum menjadi indikator yang bisa dibanggakan. Mengapa demikian? Gejala ini perlu diwaspadai hanya sebagai eforia saja. Bahkan tidak tertutup kemungkinan perempuan hanya digunakan sebagai vote getter semata bagi partai. Kalangan artis banyak yang menjadi caleg, meskipun mereka menyangkal hanya digunakan sebagai vote getter, namun dalam kenyataannya mereka tidak dapat menyembunyikan keartisannya sebagai nilai jual pada saat kampanye.
Keterwakilan perempuan sebesar 30 % akan tercapai jika kesadaran politik di kalangan perempuan telah terbangun. Untuk membangun kesadaran politik tersebut, harus didukung oleh infrastruktur yang ada di setiap partai. Hampir setiap partai belum mengatur secara spesifik mengenai anggota perempuan dalam AD/ART nya. Selain perlunya dibangun koalisi perempuan yang secara intensif melakukan sosialisasi mengenai pentingnya keterwakilan perempuan di legislatif. Karena jika tidak terbangun kesadaran dari internal kaum perempuan sendiri, kuota 30 % tidak akan pernah tercapai.
Permasalahannya sekarang, apakah setelah duduk di legislatif mereka akan lebih sensitif terhadap permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan perempuan atau tidak? Apakah setelah terpenuhinya kuota 30 % akan terjadi perubahan seperti yang diharapkan atau justru sebaliknya? Ini pun harus menjadi bahan refleksi bagi kaum perempuan pada khususnya. Agar kehadiran mereka di legislatif tidak hanya menjadi simbol semata, namun mampu memperjuangkan aspirasinya.
Secara umum kesadaran politik di kalangan perempuan belum terbangun, bahkan banyak kendala yang dihadapi baik secara struktural maupun secara kultural. Meski demikian, lahirnya UU No.12 Tahun 2003 dapat dijadikan tonggak awal perjuangan bagi perempuan untuk memperjuangkan aspirasinya di legislatif.
0 comments:
Post a Comment