“ Dalam setiap komunitas, ada kerja yang harus dilakukan. Dalam setiap bangsa, ada luka yang harus disembuhkan. Dan dalam setiap hati, ada kekuatan untuk melakukannya”
Volunteering (kerelawanan) didefinisikan secara berbeda-beda di berbagai negara, tetapi ada kesamaan dasar dari semua definisi yang ada. Akar kata volunteer berasal dari bahasa Latin ”Voluntas” mengacu kepada keinginan individu. Perserikatan Bangsa-bangsa mendefinisikan kerelawanan sebagai “ activities that individuals or groups offer to society ‘in ways that often require a degree of sacrifice’but also involve satisfaction as well as motivation” . Orang yang bekerja dengan dasar kerelawanan disebut volunteer atau (sukarelawan).
Di Indonesia Sukarelawan didefinisikan sebagai orang-orang yang secara sukarela memberikan sumbangan pikiran, keahlian, tenaga, waktu, uang, barang (misalnya computer atau perangkat kerja lainnya) dan lain-lain, sebagai wujud kepedulian pada kemanusiaan, perubahan social atau lingkungan tertentu
Beberapa perbedaan dalam definisi tentang kerelawan memunculkan beberapa jenis kegiatan kerelawanan (Govaart, Van Daal, Munz and Keesom 2001). Kegiatan kerelawanan dapat mengambil bentuk formal atau informal. Kerelawanan formal mengacu kepada kerja-kerja kerelawanan yang dilakukan bersama atau melalui sebuah oranganisasi. Formal disini tidak selalu berarti oranganisasinya bersifat voluntary (sukarela), tetapi juga dapat dilakukan pada lembaga-lembaga kerja (perusahaan), lembaga pemerintahan, sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan, atau secara virtual melalui internet. Oranganisasi seperti ini dirujuk sebagai oranganisasi yang terlibat dalam kegiatan kerelawanan (volunteer-involving oranganisations). Kerelawanan informal, pada sisi lain, mengacu pada kerja-kerja kerelawanan yang dilakukan oleh individu atas kehendak pribadinya, tidak melalui suatu oranganisasi, bukan untuk keluarga atau saudaranya, dan tidak mengharapkan imbal balas.
Lebih jauh tentang volunteer silahkan kunjungi Newsletter Voluntary World
Yanti ( mutiara_9@yahoo.com )
Friday, April 11, 2008
Voluntary World
Posted by Adri Yanti Rivai at 6:34 AM 0 comments
Wednesday, April 9, 2008
BERBUAT BAIK TINGKATKAN ANTIBODI
Perbuatan baik tak hanya berefek positif bagi orang yang menerima kebaikan itu. Berbuat baik juga akan meningkatkan kesehatan pelakuknya. Tentu jika hal ini dilakukan tanpa pamrih.
Mungkin Anda pernah merasa puas atau luar biasa bahagia saat bantuan Anda bermanfaat bagi si penerima. Dengan kata lain Anda sangat bahagia saat seseorang merasakan juga kebahagiaan atas pertolongan Anda.
Barangkali itulah alasannya kenapa banyak orang melakukannya meski terkadang pertolongan itu hanya bisa membantu seseorang dalam satu periode waktu saja. Artinya, bantuan Anda tidak memberdayakan si penerima untuk mampu mengusahakan sendiri kesejahteraannya.
Ambil contoh, ketika Anda memberikan uang Rp. 1000,- atau mungkin hanya Rp.200,- kepada anak peminta-minta di perempatan dekat pemakanan umum karet Bivak, Jakarta Selatan. Tentu saja uang yang Anda berikan akan habis dalam tempo yang sesingkat-singkatnya karena kebutuhan dan keinginan anak-anak itu juga banyak seperti kita.
Alasan yang sama (ingin bahagia juga) juga besar kemungkinan kita temukan ketika bencana besar melanda Aceh, Nias, Jogja, Nabire serta tempat-tempat lain. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, begitu banyak sumbangan datang ke daerah-daerah bencana.
Meski kerap juga diselipi pamrih tersembunyi, pada dasarnya membiasakan diri memberikan sedekah, bantuan, berbuat baik kepada siapa saja merupakan bagian hidup kita dan seolah-olah menjadi kebutuhan. Tentu saja hal ini positif, terkait dengan sifat pengasih.
Baru Belajar
Dalam sebuah wawancara dengan seorang psikiater dari Phoenix Amerika Serikat, Howard C. Cutler, MD., tokoh spiritual Tibet Dalai Lama menuturkan bahwa sifat pengasih secara kasar dapat didefinisikan sebagai sikap mental yang tidak mengandung kekerasan, tak mengandung bahaya dan tidak agresif.
Sikap mental ini, lanjut Dalai Lama, didasarkan pada keinginan agar orang lain dibebeaskan dari penderitaan dan dikaitkan dengan satu rasa komitmen, tanggung jawab, dan sikap hormat kepada orang lain.
Namun, ketika kita berbicara mengenai sifat pengasih, kerap ada bahaya mencampurkan sifat pengasih ini dengan keterikatan. Menurut Dalai Lama, bila kita bicara tentang sifat pengasih, kita harus membedakan antara cinta atau rasa kasihan.
Ada sikap kasih yang diwarnai keterikatan atau pamrih, misalnya karena ingin dikenal sebagai orang baik, bingung cara menghabiskan uang, atau alasan tanggung jawab moral, merasa sebagai kewajiban, keinginan untuk mengendalikan atau menyayangi seseorang agar orang itu balas menyayangi kita. Kasih serupa itu jelas tidak utuh dan melenceng dari makna sejati. Relasi yang didasarkan pada pada kasih seperti ini tidak akan stabil dan bakal menjurus kepada keterikatan emosional. Begitu ada perubahan sedikit, rasa kasih itu akan menguap.
Kasih sejati bebas dari keterikatan. Kasih semacam ini tidak di dasarkan pada kenyataan bahwa orang itu baik kepada saya. Kasih sayang sejati di dasarkan pada pola pikir bahwa semua orang mempunyai hasrat bawaan untuk bahagia dan mengatasi penderitaannya seperti saya. Jadi kasih sejati tidak peduli apakah orang yang kita tolong itu teman atau musuh.
Dalam sebuah perkawinan misalnya, unsur keterikatan emosional memang ada. Namun jika unsur kasih sayang sejati dikembangkan yang di dasarkan pada sikap saling menghormati sebagai sesama manusia, perkawinan berpeluang untuk langgeng. Sebaliknya bila keterikatan emosional itu tidak diiringi kasih sejati, perkawinan tidak akan menetap dan cenderung akan bubar.
Untuk bisa berbuat baik, melakukan tindakan kasih perlu adanya upaya. Perlu pembiasaan diri. Itu artinya mencintaipun perlu dibiasakan. “Kita ini manusia yang sedang belajar mencintai”, ujar Dalai Lama. Hanya Tuhanlah yang bisa mengatakan, “Aku mencintaimu”. Artinya kita hanya layak mengatakan aku sedang belajar mencintaimu. Sekarang tinggal keputusan kita. Mau mengembangkannya atau tidak.
Dialiri Gairah.
Beberapa tahun belakangan ini ada beberapa penelitian yang mendukung gagasan bahwa mengembangkan sikap kasih dan peduli akan kesejahteraan orang lain (doing goog – berbuat baik) berdampak positif pada kesehatan, baik fisik maupun emosi pelakunya.
Salah satu penelitian mengenai altruisme yang cukup lengkap dilakukan oleh Allan Luks dan didokumentasikan dalam buku The Healing Power of Doing Good: The Health and Spiritual Benefits of Helping Others, yang terbit tahun 1991. Luks adalah mantan direktur eksekutif The Institute of The Advancement of Health dan direktur eksekutif Big Brothers Big Sisters of New York City.
Penelitian Luks melibatkan lebih dari 3.000 sukarelawan dari segala umur di lebih dari 20 organisasi tersebar di Amerika Serikat. Ia mengirim 17 pertanyaan pada para responden dan menanyakan apa yang mereka rasakan ketika melakukan perbuatan baik itu. Sekitar 3.296 jawaban diterima. Setelah dianalisis, Luks melihat secara jelas hubungan sebab akibat antara menolong dan tingkat kesehatan.
Luks menyimpulkan, “Menolong orang lain, memberi sumbangan bagi terpeliharanya kesehatan kita dan dapat mengurangi efek penyakit dan kekacauan serius maupun ringan, baik secara psikologis maupun fisik”.
Para sukarelawan ini bersaksi bahwa mereka merasakan aliran gairah eforia yang diikuti dengan periode rasa tenang dan bahagia setelah menjalankan aktivitas sosial. Perasaan yang disebut Luks Helper’s High ini melibatkan sensasi-sensasi yang sangat kuat yang mengindikasikan adanya penurunan tingkat stress dan melepaskan pembunuh rasa sakit alamiah dalam tubuh yang disebut endorfin. Awal munculnya gairah ini diikuti oleh periode kondisi yang sangat tenang dalam waktu cukup lama. Penurunan tingkat stres ini bagi para sukarelawan dianggap sangat penting untuk meningkatkan kesehatan mereka. Faktanya, lebih dari 90 persen sukarelawan melaporkan keadaan ini.,
Lebih dari itu Luks menyatakan, “ Pada titik ini kita mesti memahami bahwa berbedanya status pikiran sangat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh”. Kita tahu sistem imun merupakan senjata dalam melawan tumbuhnya tumor.
Dalam penelitian ini memang belum ada bukti yang memadai hubungan antara kebiasaan berbuat baik dengan kemampuan tubuh dalam mencegah atau bahkan melawan kanker. Manum penelitrian lain yang dilakukan Sandra Levy, menemukan bahwa bahwa kegembiraan yang penuh pada wanita penyandang kanker payudara sangat bermanfaat karena memampukan mereka bertahan hidup.
Kebiasaan berbuat baik, menurut penelitian ini, mampu mengkondisikan seseorang berada dalam emosi stabil dan mengurangi stres. Dengan demikian bisa memperlambat pertumbuhan kanker.
Pangkas Resiko Penyakit.
Bila Anda masih belum yakin terhadap efek positif berbuat baik, berikut ini bukti penelitrian seorang profesor psikolog dari Amerika Serikat, David McClelland. Sebelum mengajar di Boston University, David sempat mengajar di Harvard University.
Pada tahun 1970-an dia mulai meneliti bagaimana seseorang dapat meningkatkan fungsi sistem imunnya sendiri. Sebagai bagian dari penelitian ini, David mempertontonkan film tentang Ibu Theresa yang sedang menolong bayi-bayi di Calcutta, India, kepada sekelompok Mahasiswa Harvard.
Film ini merangsang keharuan mahasiswanya. Dari analisis terhadap cairan ludah mereka, diketahui bahwa imunoglobulin A, antibodi atau sistem kekebalan tubuh yang bermanfaat dalam melawan virus penyerang saluran nafas meningkat. Sementara film mengenai Nazi yang dipertontonkan kepada mahasiswa tidak memberi efek apapun pada kadar imunoglobin A.
Saat David menganalisis tanggapan para mahasiswanya, ia menemukan fakta lain yang cukup menarik. Para mahasiswa yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang cukup bagus ini ternyata tidak sekedar ingin berelasi dengan orang lain, melainkan menginginkan perbuatan positif (terlibat dengan orang lain) tanpa memedulikan imbalan.
McClelland dan koleganya menyimpulkan bahwa sekali kita berniat membangun hubungan persahabatan, cinta, atau melakukan sesuatu yang positif, kita akan merasakan emosi yang pada akhirnya akan menaikkan sistem kekebalan tubuh kita.
Penelitian lain yang dilakukan oleh para ahli di Harvard menunjukkan kesimpulan serupa. Para mahasiswa yang cukup aktif dalam kelompok sosial maupun mengembangkan sikap percaya pada kelompoknya menunjukkan peningkatan rasio sel T supresor, satu parameter kekebalan tubuh yang biasa digunakan untuk melawan penyakit.
Akhirnya McClelland menyatakan, “ Kami memiliki bukti awal dari penelitian yang panjang bahwa mereka yang memiliki sikap percaya pada kelompoknya beresiko lebih rendah mengalami sakit berat, sembilan tahun sesudahnya setelah dianalisis.”
Menolong orang lain, menurut Luks menambahkan, merupakan cara terbaik mempertebalrasa (sense) percaya dan menambah kekuatan perlindungan tubuh melawan penyakit.
Bukti lain bahwa perbuatan sosial yang dilakukan secara teratur bermanfaat positif ditemukan dari penelitian yang berlangsung selama 10 tahun atas 2.700 lali-lali di Tecumseh. Micighan, AS.
Penelitian atas konsisi fisik, kesehatan, aktifitas sosial ini menemukan bahwa mereka yang nelakukan kegiatan sosial secara sukarela, dua kali lebih rendah resiko meninggal dunia daripada yang tidak.
Kanker pun Tunduk
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh James House dari University of Michigan Research Center menemukan bahwa kegiatan sukarela yang dijalankan secara teratur serta interaksi dengan orang lain secara hangat dan kasih menimbulkan peningkatan dramatis pada angka harapan hidup dan vitalitas secara keseluruhan.
Keharuan dan kepedulian pada penderitaan orang lain ternyata bisa membantu menyehatkan emosi kita. Banyak penelitian menegaskan bahwa mengulurkan tangan bagi orang lain mampu meningkatkan rasa bahagia dan ketenangan, serta mengurangi depresi.
Penelitian oleh George Vaillant pun menyimpulkan bahwa penerapan gaya hidup altruisme menjadi komponen penting bagi terpeliharanya kesehatan mental. Beberapa efek lain yang bisa dirasakan adalah :
- Muncul rasa optimis dan tampak bahagia
- Meningkatnya kegirangan dan eforia
- Rasa nyaman yang luar biasa
- Meningkatnya energi
- Perasaan lebih sehat
- Berkurangnya rasa sendiri, depresi, dan perasaan tanpa pertolongan
- Rasa terhubung dengan orang lain
- Rasa tenang dan rileks yang luar biasa
- Panjang umur
- Terkontrolnya berat badan
- Menurunnya insomnia
- Meningkatnya sistem kekebalan tubuh
- Berkurangnya rasa nyeri dan sakit
- Meningkatnya kehangan tubuh
- Kondisi kardiovaskuler lebih sehat (tekanan darah dan resiko penyakit koroner menurun, sirkulasi darah meningkat)
- Menurunnya kadar asam lambung yang berlebih
- Berkurangnya gejala artritis dan asma
- Lebih cepat sembuh bila mengalami operasi
- Menurunkan aktivitas kanker
Kebaikan Memberi Efek Domino
Beragam bukti ilmiah memberi dukungan yang nyata atas manfaat berbuat baik, tetapi Dalai Lama menegaskan agar kita tidak perlu menggantungkan diri pada eksperimen dan survei untuk menegaskan pandangan ini.
Kita dapat menemukan hubungan erat antara sikap peduli. Sikap kasih dan kebahagiaan dalam hidup kita sendiri serta dalam hidup orang-orang di sekitar kita. Saat memutuskan untuk berbuat baik, Anda tidak hanya sedang berupaya mengembangkan situasi yang baik dan sehat bagi Anda saja, melainkan juga bagi orang-orang yang berhubungan dengan Anda atau lingkungan sekitarnya.
Kebaikan Anda akan berefek domino. Saat Anda berbuat baik pada seseorang, Anda membawa energi positif pada lingkungan di sekitra. Anda telah memengaruhi mengubah kondisi lingkungan dengan sesuatu yang baik.
Karena itu, berbuat baik bukan sekedar memberi efek positif pada diri sendiri, melainkan juga pada komunitas. Alan Luks menyebutkan, ”Hal baru yang bisa kita peroleh dari berbuat baik pada orang lain adalah perbuatan baik ini tidak hanya bermanfaat bagi meningkatnya kesehatan individu, melainkan juga mempengaruhi secara positif seluruh kondisi lingkungan sosial kita. (Sumber: Tabloid Senior No. 388 tahun 2006)
Posted by Adri Yanti Rivai at 6:06 AM 1 comments
Sunday, April 6, 2008
gperkenalan
ghaloo.... gkok gpada gserius gsmua gsih
Posted by - siena halim - at 11:54 PM 0 comments
Wednesday, April 2, 2008
Benarkah perempuan ingin berpolitik?
oleh M. Iqbal El Hidayat
Menjelang pelaksanaan pemilu 2004, setiap partai gembar-gembor akan memenuhi kuota 30% perempuan di kursi legislatif. Namun dalam kenyataannya calon anggota legislatif (caleg) perempuan banyak ditempatkan bukan pada nomor urut potensial. Usaha untuk mewujudkan 30 % kuota perempuan masih mengalami banyak hambatan, baik dari kaum laki-laki maupun dari kaum perempuan sendiri. Budaya patriarki yang masih kuat menjadi salah satu hambatan cukup besar. Kaum lelaki belum siap untuk bersaing dengan kaum perempuan, karena adanya kekhawatiran dominasinya akan semakin berkurang.
Posted by Iqbal LH at 4:22 AM 0 comments
Labels: tulisan lama :)
Tentang Studi Pembangunan ITB
Studi Pembangunan adalah suatu bidang multidisiplin yang mengkaji proses-proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang sedang membangun (developing societies). Analisis yang dikembangkan dalam Studi Pembangunan ditujukan untuk memahami berbagai dimensi yang saling terkait dalam proses pembangunan, yakni masyarakat, institusi, teknologi, kapital, pengetahuan, dan lingkungan. Tujuan dari Studi Pembangunan adalah untuk memahami implikasi-implikasi dari perubahan yang terjadi di masyarakat sebagai bentuk kosekuensi dari program pembangunan yang dicanangkan oleh berbagai institusi yang terlibat di dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengendalian pembangunan. Pemahaman dari berbagai perspektif yang dihasilkan oleh Studi Pembangunan dapat menjadi masukan penting dalam terbentuknya suatu sistem pengelolaan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Sejak pemerintah Orde Baru memulai program pembangunan, banyak hal yang telah dilakukan yang kesemuanya tertuju pada upaya modernisasi yang meliputi sektor ekonomi, industri, dan birokrasi. Tetapi program pembangunan Orde Baru tidak hanya menghasilkan prestasi tetapi juga masalah kronis. Ketimpangan ekonomi regional dan struktural, kemiskinan, ketergantungan, dan inefisiensi birokrasi adalah beberapa masalah yang menghambat proses terciptanya masyarakat yang adil dan sejahtera. Hal ini menunjukkan bahwa tolok ukur pembangunan jauh lebih kompleks dari semata pertumbuhan ekonomi. Karena itu, Studi Pembangunan di ITB diarahkan pada pemahaman proses pembangunan sebagai suatu perubahan multidimensi yang membutuhkan berbagai alat analisis untuk memahaminya secara mendalam.
Program Magister Studi Pembangunan di ITB berdiri pada tahun 1993 yang berangkat dari sebuah keinginan untuk menyediakan jembatan bagi bertemunya bidang sosial dengan bidang teknologi. Kurikulum Studi Pembangunan ITB disusun berdasarkan kebutuhan dan kondisi pembangunan kontemporer. Studi Pembangunan ITB sangat relevan dan bermanfaat bagi para pembuat kebijakan, pelaku administrasi publik, pelaku usaha dan perbankan, aktivis lembaga non-pemerintah, pelaku riset dan iptek, pelaku sosial-politik, dan unsur-unsur sosial lain di masyarakat.
Program Magister Studi Pembangunan di Institut Teknologi Bandung berfokus pada pengembangan teori, strategi dan prinsip normatif tentang pembangunan dengan berpijak pada suatu kerangka pikir yang memahami aspek-aspek ekonomi, teknologis, sosial dan kemanusiaan, serta lingkungan dalam suatu kesatuan yang utuh. Program Magister Studi Pembangunan ITB memberikan layanan pendidikan yang unggul untuk membekali mahasiswa dengan :
- kemampuan berpikir kritis dan terbuka
- ketrampilan analitik dan pemodelan
- kemampuan mengembangkan strategi
- wawasan yang berorientasi ke masa depan
Lebih dari 400 alumni PMSP ITB kini telah menempati posisi-posisi penting di departemen-departemen dan badan-badan pemerintahan, perusahaan-perusahaan swasta, LSM-LSM, lembaga-lembaga konsultan, lembaga-lembaga riset ataupun perguruan-perguruan tinggi. Lulusan PMSP yang melanjutkan studi ke jenjang doktoral mendalami bidang-bidang yang terpaut dengan studi pembangunan seperti studi governance, kebijakan teknologi, perubahan sosial, ekonomi lingkungan, dan lain-lain.
ditempel dari: http://www.spitb.or.id/tentang.html, 3 April 2008
Posted by Muhammad Soleh at 2:23 AM 0 comments
Labels: Pendidikan