Saat belanja di Supermarket, diinformasi mengenai subsidi pemerintah untuk minyak goreng dan terigu. Sebelumnya memang sempat kaget, roti tawar yang biasanya Rp. 5.600 naik menjadi Rp. 7.000,- Muncul tanya dalam hati , apakah minyak goreng dan produk berbasis terigu yang dijual di supermarket besar pantas mendapatkan subsidi pemerintah? Siapakah sebenarnya belanja toko-toko sekelas itu?
Mungkin pemerintah perlu memikirkan mekanisme subsidi yang lebih tepat. Tapi baiklah, itu mungkin bukan porsi kita. Biar pemerintah dan para ahli yang memikirkan. Kita mungkin cuma bisa mendorong dan menghimbau. Namun ada yang bisa kita lakukan biar ekonomi bangsa ini tidak semakin terpuruk, minimal berperan mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat dengan
MENCINTAI PRODUK LOKAL.
Lalu ingat kunjungan ke kota kecil Sragen (
http://www.sragen.go.id/). Pemda Sragen (yang berhasil mereformasi birokrasi dan melakukan inovasi pemerintahan) sangat mendorong penggunaan produk lokal pada jajaran pemerintahan dan masyarakatnya. Bila berkunjung kesana, kita akan menjumpai himbauan moral dan teladan agar mengarus-utamakan konsumsi produk lokal. Tidak hanya makanan, tetapi juga pakaian.
Dalam berbagai pertemuan, rapat, pelatihan dsb kita akan menemukan sajian makanan kecil yang menggunakan bahan non beras/ terigu . Pemerintah dan masyarakatnya bersama-sama berusaha mengurangi konsumsi terigu atau bahan pangan import. Disisi lain mereka juga mendorong diversifikasi pangan non-beras, dengan memperkenalkan ganyong, garut, singkong, ubi, kentang dsb. untuk meningkatkan ketahanan pangan. Kebijakan ini kemudian mendorong inovasi dalam berbagai kegiatan masyarakat, mulai dari inovasi sistem pertanian, pengolahan bahan makanan (roti berbahan singkong, ganyong dsb).
Menghadapi serbuan pakaian import Pemda Sragen secara sadar mengembangkan kebudayaan untuk menggunakan batik. 3 hari dalam seminggu mereka menggunakan pakaian batik. Tamu-tamu yang berkunjung ke Pemda Sragen, baik tamu dalam maupun luar negeri (bila memungkinkan – sangat disarankan) untuk menggunakan Batik. Mereka juga mengembangkan batik untuk kaum muda.
Logika sederhananya adalah,
PDB (Pendapatan Perkapita) = Konsumsi Masyarakat + Belanja Pemerintah + Investasi + Ekspor – Impor.
ketika konsumsi produk lokal naik, akan terjadi peningkatan pendapatan para produsen. Peningkatan pendapatan akan memungkinkan mereka untuk meningkatkan kapasitas produksi dan penyerapan tenaga kerja. Pendapatan mereka meningkat, daya beli mereka meningkat. Modal kerja mereka juga meningkat, yang memungkinkan investasi peralatan dan upaya peningkatan kualitas, atau kemampuan untuk melakukan pengembangan produk. Ini akan mendorong inovasi dan tumbuhnya kreatifitas. Perkembangan teknologi akan terpacu.
Perkembangan sektor real akan meningkatkan kebutuhan bahan baku dan penunjang. Perkembangan produksi lokal dengan bahan-bahan lokal akan mengurangi import. Pengurangan import akan menghemat devisa. Perlu kita ingat bahwa import yang tinggi memerlukan cadangan devisa yang besar. Cadangan devisa yang tidak memadai akan memaksa pemerintah untuk berhutang lagi. Hutang, menyebabkan beban pemerintah dan masyarakat semakin besar.
Jelas, bahwa keputusan kita – pribadi per pribadi – sangat menentukan perkembangan ekonomi dan kemajuan negara ini. Jadi mari mengutamakan konsumsi produk negeri sendiri dan berproduksi dengan menggunakan sumber daya negeri sendiri.
Tidak mudah memang dan tidak sesederhana itu, karena menyangkut kenyamanan yang selama ini kita nikmati. Kita masih sangat mudah tergoda untuk belanja tanpa pertimbangan untuk mengutamakan produk lokal. Tapi kalau bukan sekarang dan tidak kita upayakan, KAPAN LAGI? Jangan menunggu sampai kita terjajah secara ekonomi. Menggerakkan ekonomi lokal akan menjadi pertahanan yang tangguh dalam menghadapi perdagangan bebas yang akan segera tiba. Kita tentu tidak ingin generasi selanjutnya hanya menjadi buruh dinegara sendiri.
Salam,
Yanti 09.05.08